

Luwu Timur, 27 Juni 2025 – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Luwu Timur secara tegas mengecam tindakan sepihak yang dilakukan oleh Kedatuan Luwu dan PT Kawasan Industri Timur Luwu (KITLT), dalam prosesi pemasangan patok yang berlangsung hari ini di wilayah pinggir jalan poros batas Sulawesi Tenggara.
Ketua AMAN Luwu Timur, Hamra, menyatakan bahwa tindakan tersebut mencederai kedaulatan dan martabat Masyarakat Adat, khususnya Komunitas Adat Padoe, yang merupakan pemilik sah wilayah adat yang direncanakan menjadi bagian dari kawasan industri.
“Kami mengecam keras tindakan pemasangan patok oleh PT KITLT bersama perwakilan Kedatuan Luwu yang diwakili oleh Andi Suriadi, serta komisaris utama perusahaan, tanpa adanya komunikasi dan persetujuan dari Masyarakat Adat setempat,” tegas Hamra.
Yang menjadi sorotan dalam prosesi ini adalah keterlibatan salah satu individu , yang secara sepihak mengklaim mewakili seluruh Masyarakat Adat Luwu Timur. Menurut AMAN Luwu Timur, pernyataan tersebut tidak sah karena tidak melalui mekanisme musyawarah adat dan tidak mengantongi mandat dari komunitas adat lainnya.
“Tidak ada satu pun individu yang berhak mengklaim mewakili seluruh masyarakat adat tanpa proses adat yang sah. Ini pelanggaran terhadap sistem nilai dan hukum adat kami,” tambah Hamra.
AMAN Luwu Timur menilai bahwa tindakan Kedatuan Luwu dan PT KITLT bukan hanya melanggar etika adat, tetapi juga melanggar ketentuan hukum nasional, antara lain:
1. UUD 1945 Pasal 18B “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
2. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)Pasal 3:“Pengakuan atas hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada.”
3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012Menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan hutan milik masyarakat hukum adat, yang tidak dapat dikuasai sepihak oleh negara atau pihak lain tanpa persetujuan.
4. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 6 ayat (1):
“Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum.”
5. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 103:“Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan hukum adat harus dilakukan secara resmi oleh pemerintah daerah melalui Perda.”
AMAN Luwu Timur juga menegaskan bahwa Kedatuan Luwu tidak memiliki hak atas wilayah adat di Luwu Timur, khususnya wilayah adat milik masyarakat Padoe. Pihaknya mendesak PT KITLT untuk menghentikan seluruh aktivitas industri di wilayah adat yang belum melalui proses FPIC (Free, Prior and Informed Consent) atau persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara lengkap, sebagaimana diakui dalam prinsip internasional dan Konvensi ILO 169.
Jika pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat ini terus berlanjut, AMAN Luwu Timur menyatakan akan menempuh jalur hukum dan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, Ombudsman, dan bahkan ke mekanisme internasional.
“Ini bukan hanya persoalan tanah, tapi soal eksistensi, martabat, dan keberlangsungan hidup masyarakat adat,” pungkas Hamra.