

Luwu Timur – Program vokasi yang digagas PT Vale Indonesia Tbk bersama Akademi Teknik Sorowako (ATS) menuai kecaman keras dari masyarakat lokal. Bukan hanya dinilai cacat secara prosedur, program yang diklaim sebagai bentuk pemberdayaan itu justru dianggap melecehkan peran desa dan menyingkirkan hak partisipasi masyarakat di lingkar tambang.
Tiga lembaga lokal, yakni LSM-GEMPA, Forum Solidaritas Masyarakat Wasuponda, dan Forum Komunikasi Anak Lokal (FOKAL) secara terbuka menyatakan penolakan terhadap proses pelaksanaan vokasi yang menurut mereka penuh kejanggalan dan tidak transparan.
“Ini bukan program pelatihan, ini penghinaan intelektual terhadap masyarakat. Kalau hanya kirim tiga nama per desa lalu dites ulang, itu artinya bukan pelatihan tapi penyaringan tenaga kerja terselubung!” tegas UCOK ketua FSMW
Lebih memprihatinkan lagi, Camat Wasuponda sendiri tidak pernah dilibatkan dalam proses koordinasi program tersebut. Saat dikonfirmasi, camat mengaku tak pernah diundang, bahkan sempat mempertanyakan jumlah kuota peserta dari wilayahnya – namun pihak PT Vale bungkam dan tak memberi jawaban pasti.
Saat di konfirmasi Camat Wasuponda mengungkapkan
“Terkait proses ini saya juga kurang update, saya saja selaku camat tidak di libatkan hanya di berikan surat tembusan dan tidak di undang. Saya juga pernah bertanya kepada External PT.VALE berapa jumlah kuota peserta yang di butuhkan tetapi mereka tidak bisa menjawab hal tersebut. ” Ungkap nya
Langkah Vale yang mengabaikan struktur pemerintah lokal dinilai sebagai bentuk arogansi korporasi yang berjalan di atas kepentingan masyarakat, padahal perusahaan tambang ini beroperasi tepat di tengah-tengah mereka.
Pelaksanaan program ini dianggap melanggar prinsip-prinsip dasar partisipasi publik. Padahal, hukum telah dengan tegas mengatur pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan seperti yang tertuang pada:
Pasal 96 UU Desa No. 6 Tahun 2014 menjamin hak masyarakat untuk dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program di wilayahnya.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menekankan akses yang adil terhadap pelatihan keterampilan, tanpa diskriminasi dan seleksi yang tidak relevan.
Prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) sebagai standar global pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam proyek-proyek industri ekstraktif.
Namun yang terjadi, justru lembaga-lembaga lokal dibiarkan menonton dari luar pagar, tanpa ruang diskusi, tanpa akses informasi yang layak, bahkan tanpa undangan resmi.
Akibat praktik yang dianggap menyinggung akal sehat itu, tiga lembaga menyatakan sikap tegas: mendesak PT Vale untuk menghentikan sementara program vokasi ATS, dan membuka ruang dialog bersama masyarakat lokal serta aparatur pemerintah di lingkar tambang.
“Kami beri waktu. Jika PT Vale tidak mengindahkan permintaan ini, maka kami – bersama aliansi gerakan masyarakat Potenza – akan menggelar aksi demonstrasi terbuka. Ini peringatan awal,” ujar Fadel ketua DPD LSM-GEMPA
Kritik tajam juga diarahkan pada substansi program vokasi itu sendiri. Jika tujuan pelatihan adalah untuk membina, mengapa harus ada tes penyaringan?
“Ini pelatihan atau rekrutmen terselubung? Kalau memang pelatihan, mengapa peserta harus dites? Atau memang ini hanya cara halus untuk membatasi akses masyarakat lokal?” sindir Risthen P. Ketua Fokal
Dengan kondisi seperti ini, program yang semestinya menjadi harapan, justru berubah menjadi luka baru. Masyarakat yang hidup berdampingan dengan tambang selama puluhan tahun tak boleh terus-menerus dijadikan formalitas pelengkap laporan CSR.
LSM-GEMPA, FOKAL, dan Forum Solidaritas Masyarakat Wasuponda yang tergabung dalam Aliansi POTENZA (POKOKNYA TENANG SAJA) sebagai jargon nya berdiri di barisan terdepan, memperjuangkan keterlibatan yang bermartabat
“Kami tidak meminta banyak. Kami hanya ingin dihormati di tanah kami sendiri.”tutup ucok
Dengan kondisi ini di harapkan PT.Vale lebih protektif lagi. Dalam potensi gejolak yang ada.
Saat berita ini di terbitkan pihak management external PT.vale masih intens komunikasi bersama tiga lembaga tersebut